Implementasi EPR (Extended Producer Responsibility) di Indonesia: Peluang dan Tantangan

 2023-03-26 06:42:24    ARTIKEL

Oleh: Asep Setiawan, Penyuluh LHK Madya-Dit. Pengurangan Sampah-KLHK

 

EPR (Extended Producer Responsibility) atau Tanggung Jawab Produsen yang di perluas adalah program yang bertujuan untuk membuat produsen bertanggung jawab atas dampak lingkungan dari produk mereka diseluruh rantai produk, dari mulai desain sampai dengan pembuangan produk oleh konsumen. Awalnya, prinsip dan ketentuan EPR diperkenalkan pada pertemuan World Summit Sustainable Development pada 2002 di Johannesburg. Walaupun tidak menyebut istilah EPR, pertemuan tersebut merekomendasikan upaya produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Baru pada pertemuan Negara G-8 tahun 2003 hingga 2005, EPR yang temasuk dalam komponen 3R (reduce, reuse, recycle) dirumuskan. Pertemuan 3R selanjutnya  dilaksanakan di Tokyo pada 2005 dan 2006 secara lebih spesifik tentang EPR (OECD, 2016).

Adopsi konsep EPR di Indonesia telah dimuat dalam UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Sampah (Pasal 15),  menyatakan bahwa produsen bertanggung jawab atas pembuangan kemasan dan produk yang tidak dapat dikomposkan atau sulit untuk dijadikan kompos.  Melalui  PP81/2012, (Pasal 1, angka 5), Produsen adalah pelaku usaha yang memproduksi barang yang menggunakan kemasan, mendistribusikan barang yang menggunakan kemasan dan berasal dari impor atau menjual barang dengan menggunakan wadah yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Produsen diwajibkan menggunakan bahan daur ulang dan mengurus daur ulang kemasan. Untuk memberikan pedoman pelaksanaan EPR terutama kewajiban produsen dalam pengurangan sampah tersebut, Kementerian LHK telah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh produsen. Bentuk pengaturan tanggung jawab Produsen secara konkrit tercantum dalam peraturan tersebut adalah produsen wajib membatasi timbulan sampah, mendaur ulang sampah dan melalui penarikan kembali (takeback), serta memanfaatkan kembali sampah. Peraturan tersebut juga mewajibkan produsen sektor bidang usaha manufaktur pemegang merek, bidang usaha ritel, dan bidang usaha jasa makanan dan minuman untuk mengurangi sampah yang berasal dari produk dan kemasan produk yang mereka hasilkan dan pasarkan dengan cara 3R. Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen ini disusun untuk waktu 10 tahun dimulai sejak 2020 sampai dengan 2029 dengan target pengurangan sampah barang dan kemasan barang serta wadah berbahan plastik, kertas, kaca, dan aluminium sebesar 30% dari jumlah produk dan/atau kemasan produk yang dihasilkan dan dipasarkan di tahun 2029.

Permen LHK P.75/2019 secara utuh memuat kerangka hukum dan kerangka teknis penerapan circular economy dalam pengelolaan sampah. Secara operasional, Permen LHK P.75/2019 mewajibkan para produsen untuk melaksanakan praktik sirkular ekonomi dalam bisnisnya dengan menjalankan prinsip pembatasan timbulan sampah (R1), pendauran ulang sampah (R2), dan pemanfaatan kembali sampah (R3). Skema eliminasi produk dan kemasan yang tidak dapat masuk sistem sirkular ekonomi  terpenuhi oleh prinsip R1 (design out of waste and pollution), skema close/open loop recycling terpenuhi oleh prinsip R2, dan skema kemasan guna ulang, repair, refurbish, dan remanufacture terpenuhi oleh prinsip R3.

Saat ini EPR di Indonesia baru diterapkan terhadap 15 Badan Usaha dengan jumlah sampah terkurangi mencapai sekitar 1.145,5 Ton, meskipun demikian Kementerian LHK  tetap melakukan upaya-upaya sosialisasi melalui pendampingan teknis peta jalan pengurangan sampah oleh produsen (P.75/2019), pada akhir tahun 2022 sudah dilakukan terhadap 353 Badan Usaha (Data Refleksi KLHK, 2022).

Walaupun telah didukung dengan instrumen peraturan yang telah mengadopsi sistem EPR dan pendekatan prinsip-prinsip sirkular ekonomi, namun  dalam kenyataannya penerapan PerMenLHK P.75 Tahun 2019 saat ini masih belum optimal. Hal ini kemungkinan  disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: 1) Masih kurang massif-nya promosi atau propaganda melalui sosialisasi atau diseminasi yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah kepada para pihak pelaku usaha produsen yang dapat menjangkau semua wilayah administrasi baik provinsi maupun kab/kota. Dimana saat ini jangkauan diseminasi pemerintah mengenai penerapan PermenLHK P.75/2019 kepada Produsen relatif masih kurang jika dibandingkan dengan jumlah produsen yang dikenakan kewajiban peraturan ini, 2) Masih kurangnya dukungan gerakan kolaborasi dan sinergitas para pihak terutama para asosiasi dalam penerapan EPR di Indonesia, 3) Belum optimalnya fungsi  kelembagaan pusat dan daerah dalam penerapan EPR, 4) Belum efektifnya penerapan skema insentif  dan dis-insentif serta 5)  Belum optimalnya  instrumen MONEV (Monitoring dan Evaluasi) yang mensinergikan kolaborasi semua pihak terkait (pentahelix) baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dunia usaha, asosiasi, perguruan tinggi dan masyarakat.

Peluang dan tantangan  implementasi EPR di Indonesia kedepan diantaranya adalah memperluas kemitraan antara produsen dengan pelaku wirausaha (socio-enterpreuneurship) berkaitan dengan pengelolaan sampah, pengembangan model bisnis/green business yang berkelanjutan sekaligus memberikan opsi yang lebih luas munculnya produk dan kemasan yang ramah lingkungan kepada masyarakat, antara lain produk yang dijual tanpa kemasan, produk dengan kemasan yang layak dan mudah dikomposkan (compostable), produk dengan kemasan yang layak dan mudah diguna ulang (reusable), produk  yang mudah diisi ulang, dan produk dengan kemasan yang layak dan mudah di daur ulang (recycleable) hingga opsi penggunaan kemasan yang dapat dikembalikan ke produsen (returnable packaging).

Beberapa langkah yang diperlukan oleh pemerintah untuk melihat dan menindaklanjuti efektivitas penerapan EPR di Indonesia saat ini dan kedepan sebagai berikut:  a) Melakukan review atau penelitian cepat/desk study  mengenai penerapan EPR, b) Mensosialisasikan/mendiseminasikan secara simultan kepada produsen dan semua stakeholders pentahelix, c) Mengembangkan instrumen standarisasi pengelolaan sampah kemasan dan sertifikasi Ekolabel nasional, d) Mengembangkan sistem monitoring, evaluasi dan pengawasan termasuk kebijakan penerapan insentif dan dis-insentif, e) Pemerintah dan Pemda harus mulai bersinergi  dalam melakukan kemitraan dengan pihak private sector untuk menyiapkan kebijakan skema pembiayaan dan pengembangan  infrastruktur persampahan,  serta f) Penerapan praktek sirkular ekonomi dengan target semua lini termasuk optimalisasi mekanisme kemitraan dalam penarikan kembali (take-back) sampah kemasan produsen pasca konsumsi dengan Bank Sampah, TPST3R, Pusat Daur Ulang, Start-up platform digital, dan lainnya.

 

Daftar Pustaka

  1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
  2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.
  3. PermenLHK P.75 Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen
  4. OECD. 2016. Extended Producer Responsibility – Updated Guidance for efficient waste management.
  5. Bahan materi diseminasi dan refleksi akhir tahun 2022, Direktorat Pengurangan Sampah, Ditjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3-Kementerian LHK, Tahun 2022.